Minggu, 15 April 2012

MANGROVE


A.            Pengertian Mangrove
          Kata “mangrove” digunakan untuk menjelaskan tumbuhan yang hidup di daerah tropis pada komunitas hutan intertidal atau pada komunitas mangrove (Tomlinson, 1986). Snedaker (1978) dalam Arief (2003) memberikan pengertian yang panjang mengenai mangrove yaitu suatu kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropika dan subtropika yang terlindung dan memiliki semacam bentuk lahan pantai dengan tipe tanah anaerob. Istilah mangrove digunakan secara luas untuk menamai tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan baik pada ekosistem hutan tropis dan subtropis pasang-surut, meliputi pantai dangkal, muara sungai, delta, rawa belakang dan laguna.
        Mangrove dapat ditemukan di muara sungai, di pinggir teluk yang terlindung, di sekitar genangan air payau di pesisir pantai dan banyak juga terdapat di pulau-pulau kecil di Indonesia.
Menurut Tomlinson (1986), vegetasi mangrove tersusun atas tiga komponen, yaitu :
1.        Mangrove mayor (true mangrove) memiliki sifat-sifat berikut:
a)   Sepenuhnya hidup pada ekosistem mangrove di kawasan pasang surut, di antara rata ketinggian pasang perbani (pasang rata-rata) dan pasang purnama (pasang tertinggi), serta tidak tumbuh di ekosistem lain.
b)  Memiliki peranan penting dalam membentuk struktur komunitas mangrove dan dapat membentuk tegakan murni.
c)   Secara morfologi beradaptasi dengan lingkungan mangrove, misalnya memiliki akar aerial dan embryo vivipar.
d)  Secara fisiologi beradaptasi dengan kondisi salin, sehingga dapat tumbuh di laut, karena memiliki mekanisme untuk menyaring dan mengeluarkan garam, misalnya melalui alat ekskresi.
e)   Secara taksonomi berbeda dengan kerabatnya yang tumbuh di darat, setidak-tidaknya terpisah hingga tingkat genus.
Antara lain: Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Nypa fruticans, Rhizophora, dan Sonneratia.
2.        Mangrove minor dibedakan oleh ketidakmampuannya untuk membentuk komponen utama vegetasi yang menyolok, jarang membentuk tegakan murni dan hanya menempati tepian habitat. Antara lain: Acrostichum, Aegiceras, Excoecaria agallocha, Heritiera littoralis, Osbornia octodonta, Pemphis acidula, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Xylocarpus.
3.        Mangrove asosiasi adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas, yang tidak ditemukan secara eksklusif di hutan mangrove dan hanya merupakan vegetasi transisi ke daratan atau lautan, namun mereka berinteraksi dengan true mangrove. Tumbuhan asosiasi adalah spesies yang berasosiasi dengan hutan pantai atau komunitas pantai dan disebarkan oleh arus laut. Tumbuhan ini tahan terhadap salinitas, seperti Terminalia, Hibiscus, Thespesia, Calophyllum, Ficus, Casuarina, beberapa polong, serta semak Aslepiadaceae dan Apocynaceae. Ke arah tepi laut tumbuh Ipomoea pescaprae, Sesuvium portucalastrum dan Salicornia arthrocnemum mengikat pasir pantai. Spesies seperti Porteresia (=Oryza) coarctata toleran terhadap berbagai tingkat salinitas. Ke arah darat terdapat kelapa (Cocos nucifera), sagu (Metroxylon sagu), Dalbergia, Pandanus, Hibiscus tiliaceus dan lain-lain. Komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove beragam, tergantung kondisi geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biogeografi, iklim, tanah, dan kondisi lingkungan lainnya.

Tabel 1. Jumlah Spesies Mangrove
Famili
Genus
Jumlah Spesies
Komponen mayor
Avicenniaceae
Combretaceae

Palmae
Rhizophoraceae



Sonneratiaceae

Komponen minor
Bombacaceae
Euphorbiaceae
Lythraceae
Meliaceae
Myrsinaceae
Myrtaceae
Pellicieraceae
Plumbaginaceae
Pteridaceae
Rubiaceae
Sterculiaceae


Avicennia
Laguncularia
Lumnitzera
Nypa
Bruguiera
Ceriops
Kandelia
Rhizophora
Sonneratia


Camptostemon
Excoecaria
Pemphis
Xylocarpus
Aegiceras
Osbornia
Pelliciera
Aegialitis
Acrostichum
Scyphiphora
Heritiera

8
1
2
1
6
2
2
8
5


2
2
1
2
2
1
1
2
3
1
3
Sumber : Tomlinson, 1986

B.            Peran dan Fungsi Mangrove
a)      Aspek Ekologi
          Menurut Kustanti (2011), ekosistem mangrove terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Kedua komponen ini yang berperan sebagai penyedia makanan bagi organisme yang tinggal di sekitar mangrove seperti udang, kepiting, ikan, burung dan mamalia. Selain itu, mangrove juga dikenal sebagai daerah mencari makanan (feeding ground), daerah berlindung, berkumpul organisme didalamnya (nursery ground) dan sebagai daerah pemijahan (spawning ground).

b)      Aspek Fisik
          Secara fisik mangrove memiliki struktur zonasi di habitatnya. Zonasi ini yang membentuk peran serta fungsi mangrove di ekosistemnya.  Menurut Setyawan (2002), mangrove melindungi pantai dari erosi, angin ribut, dan gelombang laut. Peran mangrove sebagai penghalang dan penangkap material alluvial sehingga menstabilkan ketinggian daratan dengan membentuk daratan baru untuk mengimbangi hilangnya akibat sedimentasi. Mangrove juga berperan penting sebagai penahan abrasi, tsunami, pencegah intrusi air laut dan perangkap zat pencemar (Gunarto, 2004).


c)       Aspek Ekonomi
          Menurut Arief (2003), kawasan mangrove merupakan sumber devisa, baik bagi masyarakat, industri, maupun bagi negara. Fungsi mangrove sebagai sumber devisa negara adalah :
1.        Penghasil kayu, misalnya kayu bakar, arang, serta kayu untuk  bahan bangunan dan perabot rumah tangga.
2.        Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetik, dan zat pewarna.
3.        Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung, dan madu.
          Fungsi mangrove dapat ditinjau dari penghasil bukan kayu (Santoso et al., 2005) yaitu fungsi lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan ecotourism dan lahan budidaya. Ditambahkan Arief (2003) bahwa kawasan mangrove dapat dijadikan kawasan pendidikan, konservasi dan penelitian.
          Di Indonesia studi mengenai ekonomi mangrove telah dilakukan di Teluk Bintuni Provinsi Papua oleh Ruitenbeek (1992) menyebutkan bahwa penggunaan tradisoinal sebesar 300.000 ha area mangrove dengan biota lokal 3000 di teluk diperoleh valuasi ekonomi sebesar 10 juta/tahun. Pada waktu yang sama, valuasi perikanan 35 juta/tahun (Geisen et al., 2007).    
          Meskipun fungsi non kayu mangrove bernilai ekonomis, namun sampai dengan sekarang belum banyak dikembangkan di Indonesia. Padahal apabila dikaji dengan baik, potensi sumberdaya hutan mangrove non kayu di Indonesia sangat besar dan dapat medukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Salah satunya adalah sumberdaya mangrove sebagai salah satu makanan alternatif.

C.             Adaptasi Mangrove
          Mangrove memiliki beberapa adaptasi dalam menghadapi kondisi lingkungan yang ekstrim. Daerah intertidal yang memiliki fluktuasi suhu, salinitas dan pasang surut yang berubah-ubah pada periode berbeda membuat adaptasi mangrove lebih kuat terhadap perubahan lingkungan tersebut.
          Suplai oksigen ke akar sangat penting bagi pertumbuhan dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove seringkali anaerob, maka beberapa tumbuhan mangrove membentuk struktur khusus pneumatofora (akar napas). Menurut Kustanti (2011), untuk mengatasi kadar garam oksigen yang rendah mangrove memiliki perakaran yang khas. Akarnya yang berbentuk seperti cakar ayam, pasak, tunjang dan banir adalah cara untuk mengambil oksigen dari udara yang mempunyai lentisel.
          Bentuk-bentuk akar tersebut merupakan hasil proses adaptasi pohon terhadap lingkungannya sehingga hubungan antara akar dan udara tetap terlaksana dengan baik dan fungsi akar sebagai organ pengambil zat-zat makanan dari dalam tanah tetap berlangsung. Namun, menurut Arief (2003) bahwa dengan melakukan usaha adaptasi menggunakan bentuk-bentuk perakaran, tidak semua jenis mampu hidup dan berkembang untuk seterusnya, khususnya bagi anakan-anakan yang hidup di bawah induk atau yang tersebar jauh dari induknya.
          Terhadap kadar garam tinggi, mangrove memiliki sel-sel khusus pada daunnya yang berfungsi untuk menyimpan garam, berdaun tebal dan kuat untuk mengatur keseimbangan garam. Daun yang memiliki stomata khusus untuk mengurangi penguapan. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa jenis yang membentuk kristal garam halus pada permukaan daunnya (Tomlinson, 1986).
          Komunitas mangrove memiliki rentang toleransi yang luas terhadap garam, mulai dari halofit sejati yang sangat tahan hingga glikofit yang sangat rentan. Salinitas dipengaruhi oleh aliran pasang surut dan musim (Goldman dan Horne, 1983) dalam (Setyawan 2002). Pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh salinitas sedimen dan dibatasi oleh sifat hipersalinnya, namun demikian mangrove mendiami daerah pantai dengan kisaran salinitas yang besar. Menurut Giesen et al. (2007), beberapa jenis mangrove memiliki toleransi yang besar seperti Sonneratia caseolaris, dapat ditemukan di daerah yang masih terkena pasang surut dengan salinitas hampir sama dengan air tawar.
          Selain itu, mangrove memiliki batas toleransi terhadap pasang surut. Di Asia Tenggara, daerah yang digenangi pada waktu pasang tertinggi didominasi oleh Avicennia alba, Avicennia marina atau Sonneratia alba, sedangkan daerah yang hanya digenangi sebagian air pasang tertinggi didominasi oleh jenis Rhizophora. Mangrove yang digenangi air pasang normal didominasi spesies Bruguiera, Xylocarpus granatum (Giesen et al. 2007).
          Pertumbuhan mangrove juga dipengaruhi oleh tipe substrat. Tipe substrat seperti liat berdebu juga faktor penunjang terjadinya proses regenerasi. Partikel debu dan partikel liat yang berupa lumpur menangkap buah mangrove yang jatuh karena sudah masak (Arief, 2003).

D.            Fauna Ekosistem Mangrove
Sebagai daerah asuhan, memijah dan mencari makanan, banyak biota-biota yang hidup berasosiasi dengan vegetasi mangrove maupun pada ekosistemnya. Seperti halnya crustacea, ikan, mamalia, bivalvia, dan burung. Jenis-jenis biota ini mengandalkan mangrove sebagai tempat berlindungnya. Menurut Setyawan et al. (2002), sesendok teh lumpur mangrove mengandung lebih dari 10 juta bakteri, lebih kaya dari lumpur manapun. Bakteri ini membantu peruraian serasah daun dan bahan organik lain, sehingga hutan mangrove menjadi sumber nutrisi penting bagi tumbuhan dan hewan, serta ikut pula menjaga daur nutrisi pada habitat perairan pantai.
            Invertebrata yang ditemukan di hutan mangrove umumnya adalah artropoda yang meliputi serangga, Chelicera dan Crustacea, serta moluska baik gastropoda maupun bivalvia. Sedangkan vertebrata yang banyak ditemukan adalah ikan dan burung. Dalam jumlah terbatas ditemukan pula reptilia dan mamalia. Amfibia sangat jarang ditemukan di kawasan mangrove.
Jenis-jenis burung yang hidup di daerah mangrove tampaknya tidak terlalu berbeda dengan jenis  yang hidup di daerah hutan. Mangrove dijadikan sebagai habitat untuk mencari makan, berbiak atau sekedar beristirahat. Bagi beberapa jenis burung air, seperti Kuntul (Egretta spp), Bangau (Ciconiidae) atau Pecuk (Phalacrocoracidae), daerah mangrove menyediakan ruang yang memadai untuk membuat sarang, terutama karena minimnya gangguan yang ditimbulkan oleh predator. Bagi jenis-jenis pemakan ikan, seperti kelompok burung Raja Udang (Alcedinidae), mangrove menyediakan tenggeran serta sumber makanan yang berlimpah.
          Menurut Noor (2006), Jenis-jenis Reptilia yang umum ditemukan di daerah mangrove di Indonesia diantaranya adalah buaya muara (Crocodylus porosus), biawak (Varanus salvator), ular air (Enhydris enhydris), ular mangrove (Boiga dendrophila), Ular tambak (Cerberus rhynchops), Trimeresurus wagler dan T. purpureomaculatus (MacNae, 1968; Keng & Tat-Mong, 1989; Giesen, 1993). Seluruh jenis reptilia tersebut dapat juga ditemukan pada lingkungan air tawar atau di daratan.

REFRENSI
Arief A. 2003. Hutan Mangrove : Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta.
Giesen W, Stephan W, Max Z, dan Liesbeth S. 2007. Thailand. Mangrove Guidebook For Southesth Asia. FAO and Wetlands International.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. J. Litbang Pertanian 23 (1).
Kitamura S, Anwar C, Chaniago A, dan Baba S. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia. Bali dan Lombok. Ministry of Forestry Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Jakarta.
Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor.
Noor RY, Khazali M, dan Suryadiputra NN. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
Santoso N, Bayu CN, Ahmad FS, dan Ida F. 2005. Resep Makanan Berbahan Baku Mangrove dan Pemanfaatan Nipah. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove.
Setyawan AD, Susilowati A, dan Sutarno. 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa. Kelompok Kerja Biodiversitas Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Tomlinson PB. 1996. The botany of mangrove. Cambridge University Press. UK.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar