Permasalahan
Mangrove merupakan ekosistem penyangga di pantai yang terdapat di daerah pasang surut dan daerah estuari. Keberadaan mangrove penting baik secara fisik, biologi dan ekonomi. Secara fisik mangrove berperan penting dalam menjaga kestabilan pantai terhadap ancaman gelombang, ombak besar, penahan abrasi pantai. Secara biologi mangrove berperan sebagai tempat biota-biota untuk memijah (spawning ground), tempat mencari makan (feeding ground) dan habitatnya (nursery ground). Apabila secara fisik dan biologi dalam kondisi yang stabil maka akan bernilai penting secara ekonomis. Karena biota-biota akan melimpah di ekosistem mangrove.
Tahun 2008 luas mangrove di Bangka Belitung 12.000 ha dan 36.000 ha telah rusak. Dugaan penyebab kerusakan tersebut adalah penebangan dan pertambangan. Penebangan yang dilakukan oleh masyarakat dengan memanfaatkan kayu untuk dijadikan bahan bakar dan sebagian masyarakat mengalihfungsikan kawasan mangrove untuk dijadikan lahan tambak serta konversi lahan ke pertambangan.
Seperti diketahui jika Bangka dikenal akan timahnya. Adanya perusahan tambang (PT. TIMAH) di Bangka yang melakukan eksplorasi timah dalam skala besar membuat masyarakat secara perlahan membuka lahan untuk penambangan rakyat yang disebut Tambang Konvensional (TK). TK ini dilakukan oleh sekelompak orang atau individu dengan menambang timah di daratan (hutan darat). Namun, sejak Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis (ketika itu belum menjadi provinsi) memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil atau Tambang Inkonvensional (TI). Hanya dalam kurun waktu beberapa tahun, jumlah TI darat semakin meningkat hingga merambah kawasan pantai yang sering disebut Tambang Inkonvensional Apung (TI Apung).
Dampak dari TI Apung tersebut adalah ekosistem-ekosistem yang terdapat di daerah intertidal seperti terumbu karang, lamun dan mangrove. Mangrove di Bangka telah mengalami degradasi akibat aktivitas penambangan di pesisir pantai. Hampir di semua kabupaten yang ada di Bangka hutan mangrovenya telah mengalami kerusakan dengan tingkat kerusakan yang berbeda-beda. Misalnya di Kabupaten Bangka Tengah, degradasi mangrove telah terjadi di beberapa wilayah seperti Pantai Sampur, Sungai Selan, Batu Belubang dan Permis. Adapun di Kabupaten Bangka Induk, degradasi mangrove telah terjadi di Pantai Rebo, Mengkubung, Jebus dan Kabupaten Bangka Selatan terdapat di Pantai Tanjung Kerasak.
Dapat dikatakan jika hampir seluruh kawasan mangrove di Bangka sudah mengalami degradasi baik terjadi akibat alami maupun aktivitas pertambangan. Aktivitas TI tersebut dilakukan di kawasan mangrove (konversi lahan) dan dilakukan di laut (±200 meter). Aktivitas TI ini merusak mangrove dimana masyarakat mengkonversi lahan menjadi kawasan pertambangan rakyat dan selain itu, masyarakat memanfaatkan kayunya juga untuk dijadikan penyangga mesin TI dan dibuat menjadi sakan (tempat untuk menampung timah yang belum dibersihkan/pencucian timah).
Aktivitas TI yang dilakukan di laut juga akan berdampak buruk terhadap ekosistem mangrove. Adanya pendangkalan akibat pengerukan yang berasal dari kapal keruk, kapal isap dan tambang inkonvensional menyebabkan sedimentasi. Menurut Suryo Adiwibowo dalam www.radarbangka.co.id (2011), pengurangan luas hutan mangrove dari penambangan, menyebabkan sedimentasi pada mangrove yang berasal dari pendangkalan TI, kapal keruk, ataupun kapal isap. Tak hanya aktivtas tambang di laut, penambangan di darat pun menyebabkan masuknya bahan beracun, atau keruhnya air ke muara.
Potensi Mangrove di Pulau Bangka
Potensi mangrove di Bangka belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat selain kayu untuk dijadikan bahan bakar. Ada juga masyarakat setempat memanfaatkan mangrove sebagai tempat sandaran perahu nelayan. Jika di eksplor lebih dalam, sebenarnya mangrove di Bangka dapat dijadikan kawasan wisata mangrove seperti di Kurau (Bangka Tengah) dan Baturusa (Bangka Induk).
Ketebalan mangrovenya bisa mencapai 1 km karena tumbuh di daerah estuari. Mangrove yang banyak tumbuh adalah Rhizopora sp., Nypa fruticans, Xylocarpus granatum, Sonneratia sp. dan beberapa jenis tumbuhan bawah (Gambar 2.). Secara bioekologi mangrove di Bangka berpotensi meningkatkan ekonomi masyarakat karena ekosistem mangrove habitat dari berbagai biota-biota perairan. Salah satunya kepiting bakau (Scylla sp.) bernilai ekonomis jika ditangkap secara lestari dan kelimpahannya akan meningkat seiring dengan penutupan mangrove yang tinggi.
Pengelolaan Mangrove Pasca Penambangan
Beberapa tahun terakhir pemerintah beserta stakeholder di Bangka telah melakukan beberapa upaya rehabilitasi kembali kawasan mangrove. Kegiatan yang dilakukan adalah penanaman mangrove di beberapa kawasan yang telah mengalami kerusakan (Gambar 2.). Penanaman ini dilakukan oleh pemerintah, masyarakat yang peduli lingkungan, LSM serta organisasi-organisasi besar yang berlatar belakang dari dunia pertambangan juga (Bangka Goes Green).
Gambar diatas beberapa contoh penanaman mangrove yang dilakukan oleh Bangka Goes Green (BGG). Jenis mangrove yang ditanami adalah jenis Rhizopora sp. dan Avicennia sp. Gambar 2A. menunjukkan penanaman yang gagal, 1000 bibit mangrove mati. Hal ini diduga disebabkan adanya sedimentasi akibat dari aktivitas TI yang berjalan setelah penanaman. Selain itu, daerah penanaman bukanlah kawasan mangrove sejati (true mangrove) sehingga memungkinkan mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik.
Gambar 2B. merupakan penanaman yang dikategorikan berhasil karena kematian mangrove diperkirakan hanya 20%. Hal ini dapat disebabkan karena daerah penanaman merupakan kawasan mangrove yang telah ditumbuhi oleh Sonneratia sp. dan Rhizopora sp.
Kegiatan penanaman yang dilakukan beberapa tahun terakhir belum dilakukan secara optimal karena tidak disertai dengan penertiban penambangan dan juga tidak adanya monitoring setelah penanaman. Sehingga kebanyakan mangrove tidak tumbuh dengan baik karena kurangnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna langsung dari ekosistem mangrove.
Jika pemerintah dan stakeholder berperan penuh terhadap penanaman tersebut maka dapat memulihkan ekosistem mangrove. Biota-biota seperti crustacea, gastropoda, ikan dan yang lainnya memiliki tempat untuk memijah, mencari makan dan habitatnya. Tetapi, peran pemerintah hanya sebatas penanaman dan tidak ada keberlanjutan dari kegiatan itu sehingga penanaman mangrove tersebut tidak berhasil secara optimal.
Menurut Kustanti (2011) bahwa pengelolaan mangrove haruslah melalui perencanaan dengan memperhatikan berbagai aspek seperti aspek bioekologi, sosial ekonomi dan fisik. Pengelolaan mangrove dengan memperhatikan ketiga aspek ini adalah pengelolaan yang berkelanjutan. Jika ketiga aspek ini terintegrasi dengan baik maka pengelolaan mangrove akan terkelola secara lestari.
Pengelolaan mangrove hendaklah melakukan beberapa tahap sehingga penanaman mangrove berjalan optimal. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah perencanaan, survei lapangan, pengumpulan data, penyusunan rencana pengelolaan, pelaksanaan pengelolaan, monitoring dan evaluasi (Kustanti, 2011). Ini perlu diterapkan oleh stakeholder yang terlibat di Pulau Bangka dan disertai dengan penertiban tambang-tambang yang beroperasi di laut ataupun di daratan.
DAFTAR PUSTAKA
Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor.
Radar Bangka Online. 2011. Hutan Mangrove Babel Mengkhawatirkan. www.radarbangka.co.id. Dikunjungi : 03 Desember 2011.
Mangrove merupakan ekosistem penyangga di pantai yang terdapat di daerah pasang surut dan daerah estuari. Keberadaan mangrove penting baik secara fisik, biologi dan ekonomi. Secara fisik mangrove berperan penting dalam menjaga kestabilan pantai terhadap ancaman gelombang, ombak besar, penahan abrasi pantai. Secara biologi mangrove berperan sebagai tempat biota-biota untuk memijah (spawning ground), tempat mencari makan (feeding ground) dan habitatnya (nursery ground). Apabila secara fisik dan biologi dalam kondisi yang stabil maka akan bernilai penting secara ekonomis. Karena biota-biota akan melimpah di ekosistem mangrove.
Tahun 2008 luas mangrove di Bangka Belitung 12.000 ha dan 36.000 ha telah rusak. Dugaan penyebab kerusakan tersebut adalah penebangan dan pertambangan. Penebangan yang dilakukan oleh masyarakat dengan memanfaatkan kayu untuk dijadikan bahan bakar dan sebagian masyarakat mengalihfungsikan kawasan mangrove untuk dijadikan lahan tambak serta konversi lahan ke pertambangan.
Seperti diketahui jika Bangka dikenal akan timahnya. Adanya perusahan tambang (PT. TIMAH) di Bangka yang melakukan eksplorasi timah dalam skala besar membuat masyarakat secara perlahan membuka lahan untuk penambangan rakyat yang disebut Tambang Konvensional (TK). TK ini dilakukan oleh sekelompak orang atau individu dengan menambang timah di daratan (hutan darat). Namun, sejak Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis (ketika itu belum menjadi provinsi) memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil atau Tambang Inkonvensional (TI). Hanya dalam kurun waktu beberapa tahun, jumlah TI darat semakin meningkat hingga merambah kawasan pantai yang sering disebut Tambang Inkonvensional Apung (TI Apung).
Dampak dari TI Apung tersebut adalah ekosistem-ekosistem yang terdapat di daerah intertidal seperti terumbu karang, lamun dan mangrove. Mangrove di Bangka telah mengalami degradasi akibat aktivitas penambangan di pesisir pantai. Hampir di semua kabupaten yang ada di Bangka hutan mangrovenya telah mengalami kerusakan dengan tingkat kerusakan yang berbeda-beda. Misalnya di Kabupaten Bangka Tengah, degradasi mangrove telah terjadi di beberapa wilayah seperti Pantai Sampur, Sungai Selan, Batu Belubang dan Permis. Adapun di Kabupaten Bangka Induk, degradasi mangrove telah terjadi di Pantai Rebo, Mengkubung, Jebus dan Kabupaten Bangka Selatan terdapat di Pantai Tanjung Kerasak.
Dapat dikatakan jika hampir seluruh kawasan mangrove di Bangka sudah mengalami degradasi baik terjadi akibat alami maupun aktivitas pertambangan. Aktivitas TI tersebut dilakukan di kawasan mangrove (konversi lahan) dan dilakukan di laut (±200 meter). Aktivitas TI ini merusak mangrove dimana masyarakat mengkonversi lahan menjadi kawasan pertambangan rakyat dan selain itu, masyarakat memanfaatkan kayunya juga untuk dijadikan penyangga mesin TI dan dibuat menjadi sakan (tempat untuk menampung timah yang belum dibersihkan/pencucian timah).
Aktivitas TI yang dilakukan di laut juga akan berdampak buruk terhadap ekosistem mangrove. Adanya pendangkalan akibat pengerukan yang berasal dari kapal keruk, kapal isap dan tambang inkonvensional menyebabkan sedimentasi. Menurut Suryo Adiwibowo dalam www.radarbangka.co.id (2011), pengurangan luas hutan mangrove dari penambangan, menyebabkan sedimentasi pada mangrove yang berasal dari pendangkalan TI, kapal keruk, ataupun kapal isap. Tak hanya aktivtas tambang di laut, penambangan di darat pun menyebabkan masuknya bahan beracun, atau keruhnya air ke muara.
Potensi Mangrove di Pulau Bangka
Potensi mangrove di Bangka belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat selain kayu untuk dijadikan bahan bakar. Ada juga masyarakat setempat memanfaatkan mangrove sebagai tempat sandaran perahu nelayan. Jika di eksplor lebih dalam, sebenarnya mangrove di Bangka dapat dijadikan kawasan wisata mangrove seperti di Kurau (Bangka Tengah) dan Baturusa (Bangka Induk).
Ketebalan mangrovenya bisa mencapai 1 km karena tumbuh di daerah estuari. Mangrove yang banyak tumbuh adalah Rhizopora sp., Nypa fruticans, Xylocarpus granatum, Sonneratia sp. dan beberapa jenis tumbuhan bawah (Gambar 2.). Secara bioekologi mangrove di Bangka berpotensi meningkatkan ekonomi masyarakat karena ekosistem mangrove habitat dari berbagai biota-biota perairan. Salah satunya kepiting bakau (Scylla sp.) bernilai ekonomis jika ditangkap secara lestari dan kelimpahannya akan meningkat seiring dengan penutupan mangrove yang tinggi.
Pengelolaan Mangrove Pasca Penambangan
Beberapa tahun terakhir pemerintah beserta stakeholder di Bangka telah melakukan beberapa upaya rehabilitasi kembali kawasan mangrove. Kegiatan yang dilakukan adalah penanaman mangrove di beberapa kawasan yang telah mengalami kerusakan (Gambar 2.). Penanaman ini dilakukan oleh pemerintah, masyarakat yang peduli lingkungan, LSM serta organisasi-organisasi besar yang berlatar belakang dari dunia pertambangan juga (Bangka Goes Green).
Gambar diatas beberapa contoh penanaman mangrove yang dilakukan oleh Bangka Goes Green (BGG). Jenis mangrove yang ditanami adalah jenis Rhizopora sp. dan Avicennia sp. Gambar 2A. menunjukkan penanaman yang gagal, 1000 bibit mangrove mati. Hal ini diduga disebabkan adanya sedimentasi akibat dari aktivitas TI yang berjalan setelah penanaman. Selain itu, daerah penanaman bukanlah kawasan mangrove sejati (true mangrove) sehingga memungkinkan mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik.
Gambar 2B. merupakan penanaman yang dikategorikan berhasil karena kematian mangrove diperkirakan hanya 20%. Hal ini dapat disebabkan karena daerah penanaman merupakan kawasan mangrove yang telah ditumbuhi oleh Sonneratia sp. dan Rhizopora sp.
Kegiatan penanaman yang dilakukan beberapa tahun terakhir belum dilakukan secara optimal karena tidak disertai dengan penertiban penambangan dan juga tidak adanya monitoring setelah penanaman. Sehingga kebanyakan mangrove tidak tumbuh dengan baik karena kurangnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna langsung dari ekosistem mangrove.
Jika pemerintah dan stakeholder berperan penuh terhadap penanaman tersebut maka dapat memulihkan ekosistem mangrove. Biota-biota seperti crustacea, gastropoda, ikan dan yang lainnya memiliki tempat untuk memijah, mencari makan dan habitatnya. Tetapi, peran pemerintah hanya sebatas penanaman dan tidak ada keberlanjutan dari kegiatan itu sehingga penanaman mangrove tersebut tidak berhasil secara optimal.
Menurut Kustanti (2011) bahwa pengelolaan mangrove haruslah melalui perencanaan dengan memperhatikan berbagai aspek seperti aspek bioekologi, sosial ekonomi dan fisik. Pengelolaan mangrove dengan memperhatikan ketiga aspek ini adalah pengelolaan yang berkelanjutan. Jika ketiga aspek ini terintegrasi dengan baik maka pengelolaan mangrove akan terkelola secara lestari.
Pengelolaan mangrove hendaklah melakukan beberapa tahap sehingga penanaman mangrove berjalan optimal. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah perencanaan, survei lapangan, pengumpulan data, penyusunan rencana pengelolaan, pelaksanaan pengelolaan, monitoring dan evaluasi (Kustanti, 2011). Ini perlu diterapkan oleh stakeholder yang terlibat di Pulau Bangka dan disertai dengan penertiban tambang-tambang yang beroperasi di laut ataupun di daratan.
DAFTAR PUSTAKA
Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor.
Radar Bangka Online. 2011. Hutan Mangrove Babel Mengkhawatirkan. www.radarbangka.co.id. Dikunjungi : 03 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar