Minggu, 15 April 2012

MANGROVE


A.            Pengertian Mangrove
          Kata “mangrove” digunakan untuk menjelaskan tumbuhan yang hidup di daerah tropis pada komunitas hutan intertidal atau pada komunitas mangrove (Tomlinson, 1986). Snedaker (1978) dalam Arief (2003) memberikan pengertian yang panjang mengenai mangrove yaitu suatu kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropika dan subtropika yang terlindung dan memiliki semacam bentuk lahan pantai dengan tipe tanah anaerob. Istilah mangrove digunakan secara luas untuk menamai tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan baik pada ekosistem hutan tropis dan subtropis pasang-surut, meliputi pantai dangkal, muara sungai, delta, rawa belakang dan laguna.
        Mangrove dapat ditemukan di muara sungai, di pinggir teluk yang terlindung, di sekitar genangan air payau di pesisir pantai dan banyak juga terdapat di pulau-pulau kecil di Indonesia.
Menurut Tomlinson (1986), vegetasi mangrove tersusun atas tiga komponen, yaitu :
1.        Mangrove mayor (true mangrove) memiliki sifat-sifat berikut:
a)   Sepenuhnya hidup pada ekosistem mangrove di kawasan pasang surut, di antara rata ketinggian pasang perbani (pasang rata-rata) dan pasang purnama (pasang tertinggi), serta tidak tumbuh di ekosistem lain.
b)  Memiliki peranan penting dalam membentuk struktur komunitas mangrove dan dapat membentuk tegakan murni.
c)   Secara morfologi beradaptasi dengan lingkungan mangrove, misalnya memiliki akar aerial dan embryo vivipar.
d)  Secara fisiologi beradaptasi dengan kondisi salin, sehingga dapat tumbuh di laut, karena memiliki mekanisme untuk menyaring dan mengeluarkan garam, misalnya melalui alat ekskresi.
e)   Secara taksonomi berbeda dengan kerabatnya yang tumbuh di darat, setidak-tidaknya terpisah hingga tingkat genus.
Antara lain: Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Nypa fruticans, Rhizophora, dan Sonneratia.
2.        Mangrove minor dibedakan oleh ketidakmampuannya untuk membentuk komponen utama vegetasi yang menyolok, jarang membentuk tegakan murni dan hanya menempati tepian habitat. Antara lain: Acrostichum, Aegiceras, Excoecaria agallocha, Heritiera littoralis, Osbornia octodonta, Pemphis acidula, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Xylocarpus.
3.        Mangrove asosiasi adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas, yang tidak ditemukan secara eksklusif di hutan mangrove dan hanya merupakan vegetasi transisi ke daratan atau lautan, namun mereka berinteraksi dengan true mangrove. Tumbuhan asosiasi adalah spesies yang berasosiasi dengan hutan pantai atau komunitas pantai dan disebarkan oleh arus laut. Tumbuhan ini tahan terhadap salinitas, seperti Terminalia, Hibiscus, Thespesia, Calophyllum, Ficus, Casuarina, beberapa polong, serta semak Aslepiadaceae dan Apocynaceae. Ke arah tepi laut tumbuh Ipomoea pescaprae, Sesuvium portucalastrum dan Salicornia arthrocnemum mengikat pasir pantai. Spesies seperti Porteresia (=Oryza) coarctata toleran terhadap berbagai tingkat salinitas. Ke arah darat terdapat kelapa (Cocos nucifera), sagu (Metroxylon sagu), Dalbergia, Pandanus, Hibiscus tiliaceus dan lain-lain. Komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove beragam, tergantung kondisi geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biogeografi, iklim, tanah, dan kondisi lingkungan lainnya.

Tabel 1. Jumlah Spesies Mangrove
Famili
Genus
Jumlah Spesies
Komponen mayor
Avicenniaceae
Combretaceae

Palmae
Rhizophoraceae



Sonneratiaceae

Komponen minor
Bombacaceae
Euphorbiaceae
Lythraceae
Meliaceae
Myrsinaceae
Myrtaceae
Pellicieraceae
Plumbaginaceae
Pteridaceae
Rubiaceae
Sterculiaceae


Avicennia
Laguncularia
Lumnitzera
Nypa
Bruguiera
Ceriops
Kandelia
Rhizophora
Sonneratia


Camptostemon
Excoecaria
Pemphis
Xylocarpus
Aegiceras
Osbornia
Pelliciera
Aegialitis
Acrostichum
Scyphiphora
Heritiera

8
1
2
1
6
2
2
8
5


2
2
1
2
2
1
1
2
3
1
3
Sumber : Tomlinson, 1986

B.            Peran dan Fungsi Mangrove
a)      Aspek Ekologi
          Menurut Kustanti (2011), ekosistem mangrove terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Kedua komponen ini yang berperan sebagai penyedia makanan bagi organisme yang tinggal di sekitar mangrove seperti udang, kepiting, ikan, burung dan mamalia. Selain itu, mangrove juga dikenal sebagai daerah mencari makanan (feeding ground), daerah berlindung, berkumpul organisme didalamnya (nursery ground) dan sebagai daerah pemijahan (spawning ground).

b)      Aspek Fisik
          Secara fisik mangrove memiliki struktur zonasi di habitatnya. Zonasi ini yang membentuk peran serta fungsi mangrove di ekosistemnya.  Menurut Setyawan (2002), mangrove melindungi pantai dari erosi, angin ribut, dan gelombang laut. Peran mangrove sebagai penghalang dan penangkap material alluvial sehingga menstabilkan ketinggian daratan dengan membentuk daratan baru untuk mengimbangi hilangnya akibat sedimentasi. Mangrove juga berperan penting sebagai penahan abrasi, tsunami, pencegah intrusi air laut dan perangkap zat pencemar (Gunarto, 2004).


c)       Aspek Ekonomi
          Menurut Arief (2003), kawasan mangrove merupakan sumber devisa, baik bagi masyarakat, industri, maupun bagi negara. Fungsi mangrove sebagai sumber devisa negara adalah :
1.        Penghasil kayu, misalnya kayu bakar, arang, serta kayu untuk  bahan bangunan dan perabot rumah tangga.
2.        Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, alkohol, penyamak kulit, kosmetik, dan zat pewarna.
3.        Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung, dan madu.
          Fungsi mangrove dapat ditinjau dari penghasil bukan kayu (Santoso et al., 2005) yaitu fungsi lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai kawasan ecotourism dan lahan budidaya. Ditambahkan Arief (2003) bahwa kawasan mangrove dapat dijadikan kawasan pendidikan, konservasi dan penelitian.
          Di Indonesia studi mengenai ekonomi mangrove telah dilakukan di Teluk Bintuni Provinsi Papua oleh Ruitenbeek (1992) menyebutkan bahwa penggunaan tradisoinal sebesar 300.000 ha area mangrove dengan biota lokal 3000 di teluk diperoleh valuasi ekonomi sebesar 10 juta/tahun. Pada waktu yang sama, valuasi perikanan 35 juta/tahun (Geisen et al., 2007).    
          Meskipun fungsi non kayu mangrove bernilai ekonomis, namun sampai dengan sekarang belum banyak dikembangkan di Indonesia. Padahal apabila dikaji dengan baik, potensi sumberdaya hutan mangrove non kayu di Indonesia sangat besar dan dapat medukung pengelolaan hutan mangrove secara berkelanjutan. Salah satunya adalah sumberdaya mangrove sebagai salah satu makanan alternatif.

C.             Adaptasi Mangrove
          Mangrove memiliki beberapa adaptasi dalam menghadapi kondisi lingkungan yang ekstrim. Daerah intertidal yang memiliki fluktuasi suhu, salinitas dan pasang surut yang berubah-ubah pada periode berbeda membuat adaptasi mangrove lebih kuat terhadap perubahan lingkungan tersebut.
          Suplai oksigen ke akar sangat penting bagi pertumbuhan dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove seringkali anaerob, maka beberapa tumbuhan mangrove membentuk struktur khusus pneumatofora (akar napas). Menurut Kustanti (2011), untuk mengatasi kadar garam oksigen yang rendah mangrove memiliki perakaran yang khas. Akarnya yang berbentuk seperti cakar ayam, pasak, tunjang dan banir adalah cara untuk mengambil oksigen dari udara yang mempunyai lentisel.
          Bentuk-bentuk akar tersebut merupakan hasil proses adaptasi pohon terhadap lingkungannya sehingga hubungan antara akar dan udara tetap terlaksana dengan baik dan fungsi akar sebagai organ pengambil zat-zat makanan dari dalam tanah tetap berlangsung. Namun, menurut Arief (2003) bahwa dengan melakukan usaha adaptasi menggunakan bentuk-bentuk perakaran, tidak semua jenis mampu hidup dan berkembang untuk seterusnya, khususnya bagi anakan-anakan yang hidup di bawah induk atau yang tersebar jauh dari induknya.
          Terhadap kadar garam tinggi, mangrove memiliki sel-sel khusus pada daunnya yang berfungsi untuk menyimpan garam, berdaun tebal dan kuat untuk mengatur keseimbangan garam. Daun yang memiliki stomata khusus untuk mengurangi penguapan. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa jenis yang membentuk kristal garam halus pada permukaan daunnya (Tomlinson, 1986).
          Komunitas mangrove memiliki rentang toleransi yang luas terhadap garam, mulai dari halofit sejati yang sangat tahan hingga glikofit yang sangat rentan. Salinitas dipengaruhi oleh aliran pasang surut dan musim (Goldman dan Horne, 1983) dalam (Setyawan 2002). Pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh salinitas sedimen dan dibatasi oleh sifat hipersalinnya, namun demikian mangrove mendiami daerah pantai dengan kisaran salinitas yang besar. Menurut Giesen et al. (2007), beberapa jenis mangrove memiliki toleransi yang besar seperti Sonneratia caseolaris, dapat ditemukan di daerah yang masih terkena pasang surut dengan salinitas hampir sama dengan air tawar.
          Selain itu, mangrove memiliki batas toleransi terhadap pasang surut. Di Asia Tenggara, daerah yang digenangi pada waktu pasang tertinggi didominasi oleh Avicennia alba, Avicennia marina atau Sonneratia alba, sedangkan daerah yang hanya digenangi sebagian air pasang tertinggi didominasi oleh jenis Rhizophora. Mangrove yang digenangi air pasang normal didominasi spesies Bruguiera, Xylocarpus granatum (Giesen et al. 2007).
          Pertumbuhan mangrove juga dipengaruhi oleh tipe substrat. Tipe substrat seperti liat berdebu juga faktor penunjang terjadinya proses regenerasi. Partikel debu dan partikel liat yang berupa lumpur menangkap buah mangrove yang jatuh karena sudah masak (Arief, 2003).

D.            Fauna Ekosistem Mangrove
Sebagai daerah asuhan, memijah dan mencari makanan, banyak biota-biota yang hidup berasosiasi dengan vegetasi mangrove maupun pada ekosistemnya. Seperti halnya crustacea, ikan, mamalia, bivalvia, dan burung. Jenis-jenis biota ini mengandalkan mangrove sebagai tempat berlindungnya. Menurut Setyawan et al. (2002), sesendok teh lumpur mangrove mengandung lebih dari 10 juta bakteri, lebih kaya dari lumpur manapun. Bakteri ini membantu peruraian serasah daun dan bahan organik lain, sehingga hutan mangrove menjadi sumber nutrisi penting bagi tumbuhan dan hewan, serta ikut pula menjaga daur nutrisi pada habitat perairan pantai.
            Invertebrata yang ditemukan di hutan mangrove umumnya adalah artropoda yang meliputi serangga, Chelicera dan Crustacea, serta moluska baik gastropoda maupun bivalvia. Sedangkan vertebrata yang banyak ditemukan adalah ikan dan burung. Dalam jumlah terbatas ditemukan pula reptilia dan mamalia. Amfibia sangat jarang ditemukan di kawasan mangrove.
Jenis-jenis burung yang hidup di daerah mangrove tampaknya tidak terlalu berbeda dengan jenis  yang hidup di daerah hutan. Mangrove dijadikan sebagai habitat untuk mencari makan, berbiak atau sekedar beristirahat. Bagi beberapa jenis burung air, seperti Kuntul (Egretta spp), Bangau (Ciconiidae) atau Pecuk (Phalacrocoracidae), daerah mangrove menyediakan ruang yang memadai untuk membuat sarang, terutama karena minimnya gangguan yang ditimbulkan oleh predator. Bagi jenis-jenis pemakan ikan, seperti kelompok burung Raja Udang (Alcedinidae), mangrove menyediakan tenggeran serta sumber makanan yang berlimpah.
          Menurut Noor (2006), Jenis-jenis Reptilia yang umum ditemukan di daerah mangrove di Indonesia diantaranya adalah buaya muara (Crocodylus porosus), biawak (Varanus salvator), ular air (Enhydris enhydris), ular mangrove (Boiga dendrophila), Ular tambak (Cerberus rhynchops), Trimeresurus wagler dan T. purpureomaculatus (MacNae, 1968; Keng & Tat-Mong, 1989; Giesen, 1993). Seluruh jenis reptilia tersebut dapat juga ditemukan pada lingkungan air tawar atau di daratan.

REFRENSI
Arief A. 2003. Hutan Mangrove : Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta.
Giesen W, Stephan W, Max Z, dan Liesbeth S. 2007. Thailand. Mangrove Guidebook For Southesth Asia. FAO and Wetlands International.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. J. Litbang Pertanian 23 (1).
Kitamura S, Anwar C, Chaniago A, dan Baba S. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia. Bali dan Lombok. Ministry of Forestry Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Jakarta.
Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor.
Noor RY, Khazali M, dan Suryadiputra NN. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.
Santoso N, Bayu CN, Ahmad FS, dan Ida F. 2005. Resep Makanan Berbahan Baku Mangrove dan Pemanfaatan Nipah. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove.
Setyawan AD, Susilowati A, dan Sutarno. 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa. Kelompok Kerja Biodiversitas Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Tomlinson PB. 1996. The botany of mangrove. Cambridge University Press. UK.

 


Sabtu, 14 April 2012

Pulau Mendanau Kabupaten Belitung

Secara umum Pulau Mendanau terletak di Kecamatan Selat Nasik, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pulau ini mempunyai luas sebesar 12.097,18 Ha dengan jumlah penduduk sekitar 2.335 jiwa. Secara geografis pulau ini memiliki batas wilayah sebagai berikut:
               Sebelah Utara              : Pulau Batu Dinding
               Sebelah Timur             : Pulau Sebongkok
               Sebelah Selatan           : Pulau Naduk
               Sebelah Barat              : Selat Gaspar
            Secara administratif, Pulau Mendanau merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kecamatan Selat Nasik yang terdiri dari tiga desa, yaitu Desa Selat Nasik sebagai ibukota kecamatan, Petaling dan Suak Gual (Anonim, 2008).
Gambar 1. Gerbang Pintu Selamat Datang Kecamatan Selat Nasik, Kupulauan Mendanau (Dok. End Ju, 2010)

Kecamatan Selat Nasik merupakan salah satu dari lima kecamatan yang ada di Kabupaten Belitung. Terletak sekitar 50 km sebelah Barat Kota Tanjung Pandan. Kecamatan ini mempunyai luas 133,50 km2 atau sekitar 5,82 persen dari luas wilayah Kabupaten Belitung (Sjafrie et al., 2007).
          Transportasi yang digunakan adalah perahu nelayan (kapal penumpang) dengan ukuran kurang lebih 30 GT (Gambar 2). Perjalanan menuju Pulau Mendanau dapat ditempuh dengan waktu 2 jam apabila berangkat dari Pelabuhan Perikanan Tanjung Pandan sebesar Rp 20.000,00/orang. Tetapi jika ingin perjalanan di laut lebih cepat dapat melalui Penggantungan dengan jarak tempuh kurang lebih 30 menit. Namun perjalanan dari Tanjung Pandang ke Penggantungan cukup memakan waktu yang lama juga.
 Gambar 2. Alat Transportasi Tanjung Pandan - Selat Nasik Pulau Mendanau

Pulau Mendanau memiliki potensi sumberdaya yang besar seperti terumbu karang, mangrove dan lamun. Hampir di sekeliling Pulau terdapat mangrove dengan kerapatan dan ketebalan yang berbeda. Selain itu, jika kita sudah memasuki kawasan pulau tepatnya di Desa Selat Nasik dapat kita temui Keramba Jaring Apung (KJA). KJA ini merupakan program dari pemerintah daerah stempat melalui pemberdayaan masyarakat dan beberapa merupakan milik dari SMK Perikanan di Kabupaten Belitung. Ikan yang dibudidayakan rata-rata adalah jenis kerapu (Gambar 3).
 Gambar 3. Keramba Jaring Apung

Gambar di bawah ini merupakan pusat kegiatan di Pulau Mendanau dan Kecamatan Selat Nasik pada umumnya.
Gambar 4. Monumen Perjuangan Rakyat Mendanau

Arti Perempuan Bagi Laki-Laki

Dia yang diambil dari tulang rusuk. Jika Tuhan mempersatukan dua orang yang berlawanan sifatnya, maka itu akan menjadi saling melengkapi.

Dialah penolongmu yang sepadan, bukan lawan yang sepadan. Ketika pertandingan dimulai, dia tidak berhadapan denganmu untuk melawanmu, tetapi dia akan berada bersamamu untuk berjaga-jaga di belakang saat engkau berada di depan, atau segera mengembalikan bola ketika bola itu terlewat olehmu, dialah yang akan menutupi kekuranganmu.

Dia ada untuk melengkapi yang tak ada dalam laki-laki : perasaan, emosi, kelemahlembutan, keluwesan, keindahan, kecantikan, rahim untuk melahirkan, mengurusi hal-hal yang kadang dianggap sepele. Hingga ketika kau tidak mengerti hal-hal itu, dialah yang akan menyelesaikan bagiannya. Sehingga tanpa kau sadari ketika menjalankan sisa hidupmu... kau menjadi lebih kuat karena kehadirannya di sisimu. Jika ada makhluk yang sangat bertolak belakang, kontras dengan lelaki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukkan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan.

Ia tidak butuh argumentasi hebat dari seorang laki-laki, tetapi ia butuh jaminan rasa aman darinya karena ia ada untuk dilindungi, tidak hanya secara fisik tetapi juga emosi. Ia tidak tertarik kepada fakta-fakta yang akurat, bahasa yang teliti dan logis yang bisa disampaikan secara detail dari seorang laki-laki, tetapi yang ia butuhkan adalah perhatiannya, kata-kata yang lembut, ungkapan-ungkapan sayang yang sepele, namun baginya sangat berarti, membuatnya aman di dekatmu.

Batu yang keras dapat terkikis habis oleh air yang luwes, sifat laki-laki yang keras ternetralisir oleh kelembutan perempuan. Rumput yang lembut tidak mudah tumbang oleh badai dibandingkan dengan pohon yang besar dan rindang, seperti juga di dalam kelembutannya di situlah terletak kekuatan dan ketahanan yang membuatnya bisa bertahan dalam situasi apapun.

Ia lembut bukan untuk diinjak, rumput yang lembut akan dinaungi oleh pohon yang kokoh dan rindang. Jika lelaki berpikir tentang perasaan perempuan, itu sepersekian dari hidupnya. Tetapi jika perempuan berpikir tentang perasaan lelaki, itu akan menyita seluruh hidupnya.

Karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki- laki, karena perempuan adalah bagian dari laki-laki, apa yang menjadi bagian dari hidupnya, akan menjadi bagian dari hidupmu. Keluarganya akan menjadi keluarga barumu, keluargamu pun akan menjadi keluarganya juga. Sekalipun ia jauh dari keluarganya, namun ikatan emosi kepada keluarganya tetap ada karena ia lahir dan dibesarkan di sana. Karena mereka, ia menjadi seperti sekarang ini. Perasaannya terhadap keluarganya, akan menjadi bagian dari perasaanmu juga, karena kau dan dia adalah satu, dia adalah dirimu yang tak ada sebelumnya. 

Ketika pertandingan dimulai, pastikan dia ada di bagian lapangan yang sama denganmu.


Dikutip dari : http://www.conectique.com


Lalu apa arti perempuan bagimu kaum lelaki. Hargailah perempuan-perempuan yang ada di samping kalian, sehina apapun profesinya, seburuk apapun perilakunya, jadikan mereka lebih berati di lingkungannya. Perempuan itu lembut namun tidak lah lemah

Rabu, 11 April 2012

Degradasi Mangrove di Pulau Bangka

Permasalahan
Mangrove merupakan ekosistem penyangga di pantai yang terdapat di daerah pasang surut dan daerah estuari. Keberadaan mangrove penting baik secara fisik, biologi dan ekonomi. Secara fisik mangrove berperan penting dalam menjaga kestabilan pantai terhadap ancaman gelombang, ombak besar, penahan abrasi pantai. Secara biologi mangrove berperan sebagai tempat biota-biota untuk memijah (spawning ground), tempat mencari makan (feeding ground) dan habitatnya (nursery ground). Apabila secara fisik dan biologi dalam kondisi yang stabil maka akan bernilai penting secara ekonomis. Karena biota-biota akan melimpah di ekosistem mangrove.
Tahun 2008 luas mangrove di Bangka Belitung 12.000 ha dan 36.000 ha telah rusak. Dugaan penyebab kerusakan tersebut adalah penebangan dan pertambangan. Penebangan yang dilakukan oleh masyarakat dengan memanfaatkan kayu untuk dijadikan bahan bakar dan sebagian masyarakat mengalihfungsikan kawasan mangrove untuk dijadikan lahan tambak serta konversi lahan ke pertambangan.
Seperti diketahui jika Bangka dikenal akan timahnya. Adanya perusahan tambang (PT. TIMAH) di Bangka yang melakukan eksplorasi timah dalam skala besar membuat masyarakat secara perlahan membuka lahan untuk penambangan rakyat yang disebut Tambang Konvensional (TK). TK ini dilakukan oleh sekelompak orang atau individu dengan menambang timah di daratan (hutan darat). Namun, sejak Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis (ketika itu belum menjadi provinsi) memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil atau Tambang Inkonvensional (TI). Hanya dalam kurun waktu beberapa tahun, jumlah TI darat semakin meningkat hingga merambah kawasan pantai yang sering disebut Tambang Inkonvensional Apung (TI Apung).
           Dampak dari TI Apung tersebut adalah ekosistem-ekosistem yang terdapat di daerah intertidal seperti terumbu karang, lamun dan mangrove. Mangrove di Bangka telah mengalami degradasi akibat aktivitas penambangan di pesisir pantai. Hampir di semua kabupaten yang ada di Bangka hutan mangrovenya telah mengalami kerusakan dengan tingkat kerusakan yang berbeda-beda. Misalnya di Kabupaten Bangka Tengah, degradasi mangrove telah terjadi di beberapa wilayah seperti Pantai Sampur, Sungai Selan, Batu Belubang dan Permis. Adapun di Kabupaten Bangka Induk, degradasi mangrove telah terjadi di Pantai Rebo, Mengkubung, Jebus dan Kabupaten Bangka Selatan terdapat di Pantai Tanjung Kerasak.
   
Dapat dikatakan jika hampir seluruh kawasan mangrove di Bangka sudah mengalami degradasi baik terjadi akibat alami maupun aktivitas pertambangan. Aktivitas TI tersebut dilakukan di kawasan mangrove (konversi lahan) dan dilakukan di laut (±200 meter). Aktivitas TI ini merusak mangrove dimana masyarakat mengkonversi lahan menjadi kawasan pertambangan rakyat dan selain itu, masyarakat memanfaatkan kayunya juga untuk dijadikan penyangga mesin TI dan dibuat menjadi sakan (tempat untuk menampung timah yang belum dibersihkan/pencucian timah).
        Aktivitas TI yang dilakukan di laut juga akan berdampak buruk terhadap ekosistem mangrove. Adanya pendangkalan akibat pengerukan yang berasal dari kapal keruk, kapal isap dan tambang inkonvensional menyebabkan sedimentasi. Menurut Suryo Adiwibowo dalam www.radarbangka.co.id (2011), pengurangan luas hutan mangrove dari penambangan, menyebabkan sedimentasi pada mangrove yang berasal dari pendangkalan TI, kapal keruk, ataupun kapal isap. Tak hanya aktivtas tambang di laut, penambangan di darat pun menyebabkan masuknya bahan beracun, atau keruhnya air ke muara.
 
Potensi Mangrove di Pulau Bangka
          Potensi mangrove di Bangka belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat selain kayu untuk dijadikan bahan bakar. Ada juga masyarakat setempat memanfaatkan mangrove sebagai tempat sandaran perahu nelayan. Jika di eksplor lebih dalam, sebenarnya mangrove di Bangka dapat dijadikan kawasan wisata mangrove seperti di Kurau (Bangka Tengah) dan Baturusa (Bangka Induk).
          Ketebalan mangrovenya bisa mencapai 1 km karena tumbuh di daerah estuari. Mangrove yang banyak tumbuh adalah Rhizopora sp., Nypa fruticans, Xylocarpus granatum, Sonneratia sp. dan beberapa jenis tumbuhan bawah (Gambar 2.). Secara bioekologi mangrove di Bangka berpotensi meningkatkan ekonomi masyarakat karena ekosistem mangrove habitat dari berbagai biota-biota perairan. Salah satunya kepiting bakau (Scylla sp.) bernilai ekonomis jika ditangkap secara lestari dan kelimpahannya akan meningkat seiring dengan penutupan mangrove yang tinggi.

Pengelolaan Mangrove Pasca Penambangan
Beberapa tahun terakhir pemerintah beserta stakeholder di Bangka telah melakukan beberapa upaya rehabilitasi kembali kawasan mangrove. Kegiatan yang dilakukan adalah penanaman mangrove di beberapa kawasan yang telah mengalami kerusakan (Gambar 2.). Penanaman ini dilakukan oleh pemerintah, masyarakat yang peduli lingkungan, LSM serta organisasi-organisasi besar yang berlatar belakang dari dunia pertambangan juga (Bangka Goes Green).

Gambar diatas beberapa contoh penanaman mangrove yang dilakukan oleh Bangka Goes Green (BGG). Jenis mangrove yang ditanami adalah jenis Rhizopora sp. dan Avicennia sp. Gambar 2A. menunjukkan penanaman yang gagal, 1000 bibit mangrove mati. Hal ini diduga disebabkan adanya sedimentasi akibat dari aktivitas TI yang berjalan setelah penanaman. Selain itu, daerah penanaman bukanlah kawasan mangrove sejati (true mangrove) sehingga memungkinkan mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik.
          Gambar 2B. merupakan penanaman yang dikategorikan berhasil karena kematian mangrove diperkirakan hanya 20%. Hal ini dapat disebabkan karena daerah penanaman merupakan kawasan mangrove yang telah ditumbuhi oleh Sonneratia sp. dan Rhizopora sp.
          Kegiatan penanaman yang dilakukan beberapa tahun terakhir belum dilakukan secara optimal karena tidak disertai dengan penertiban penambangan dan juga tidak adanya monitoring setelah penanaman. Sehingga kebanyakan mangrove tidak tumbuh dengan baik karena kurangnya perhatian dari pemerintah dan masyarakat sebagai pengguna langsung dari ekosistem mangrove.
          Jika pemerintah dan stakeholder berperan penuh terhadap penanaman tersebut maka dapat memulihkan ekosistem mangrove. Biota-biota seperti crustacea, gastropoda, ikan dan yang lainnya memiliki tempat untuk memijah, mencari makan dan habitatnya. Tetapi, peran pemerintah hanya sebatas penanaman dan tidak ada keberlanjutan dari kegiatan itu sehingga penanaman mangrove tersebut tidak berhasil secara optimal.
          Menurut Kustanti (2011) bahwa pengelolaan mangrove haruslah melalui perencanaan dengan memperhatikan berbagai aspek seperti aspek bioekologi, sosial ekonomi dan fisik. Pengelolaan mangrove dengan memperhatikan ketiga aspek ini adalah pengelolaan yang berkelanjutan. Jika ketiga aspek ini terintegrasi dengan baik maka pengelolaan mangrove akan terkelola secara lestari.
          Pengelolaan mangrove hendaklah melakukan beberapa tahap sehingga penanaman mangrove berjalan optimal. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah perencanaan, survei lapangan, pengumpulan data, penyusunan rencana pengelolaan, pelaksanaan pengelolaan, monitoring dan evaluasi (Kustanti, 2011). Ini perlu diterapkan oleh stakeholder yang terlibat di Pulau Bangka dan disertai dengan penertiban tambang-tambang yang beroperasi di laut ataupun di daratan.
 
DAFTAR PUSTAKA
Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. IPB Press. Bogor.
Radar Bangka Online. 2011. Hutan Mangrove Babel Mengkhawatirkan. www.radarbangka.co.id. Dikunjungi : 03 Desember 2011.